Jelang Nataru, Potong Rambut Madura Mulai Ramai Diserbu Pelanggan
Jelang Nataru, Potong Rambut Madura Mulai Ramai Diserbu Pelanggan.
KLATEN-koranjateng.com-
Menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru, para pemangkas rambut Madura di Klaten melaporkan peningkatan signifikan dalam jumlah pelanggan. Hal ini terlihat dari antrean panjang di kios Cak Pur, salah satu pemangkas rambut Madura yang populer di Daerah Delanggu Klaten.
Menurut Cak Pur, pemilik kios, peningkatan antrean ini disebabkan oleh beberapa faktor. "Menjelang hari raya, orang-orang ingin tampil rapi dan bersih, hal ini karena bisa menambah kepercayaan diri mereka," ujarnya, selain itu, beberapa pelanggan juga memanfaatkan momen ini untuk merayakan tahun baru dengan penampilan baru dan membuang sial menurut kepercayaannya ( 19/12/2024 )
Cak Pur mengatakan bahwa intensitas antrean meningkat signifikan menjelang hari raya. "Rata-rata saya bisa mengerjakan 15-20 orang pelanggan per hari, sedangkan hari-hari biasa hanya 5-10 orang," ujarnya. Namun, ia juga mengakui bahwa intensitas antrean ini masih terbilang sedang dibandingkan dengan saat awal masuk sekolah atau menjelang puasa dan lebaran.
Gogon, salah satu pelanggan, mengatakan bahwa ia senang dengan pelayanan di kios Cak Pur. "Disamping sesuai dengan model yang saya inginkan, proses pengerjaannya juga cepat. Harga yang ditawarkan juga relatif murah, hanya Rp13.000 plus Rp3.000 untuk keramas," ujarnya.
Menurut artikel VIVA, penduduk Madura belajar pangkas rambut untuk bertahan hidup setelah dipaksa keluar dari daerahnya pada tahun 1947 karena konflik politik. Sejak itu, banyak penduduk Madura yang merantau ke berbagai daerah dan menjalani profesi sebagai tukang cukur.
Sejarah potong rambut di Indonesia sendiri telah ada sejak zaman purba, jejak tukang cukur jalanan bisa ditemukan pada dokumentasi foto-foto zaman kolonial Belanda, budaya tukang cukur ini dipercaya berasal dari daratan Tiongkok, China.
Keberadaan potong rambut Madura tetap eksis di berbagai daerah, terlepas dari kemajuan jaman, hal tersebut menunjukkan bahwa budaya ini masih sangat dibutuhkan masyarakat dan menyimpan potensi ekonomi yang menjanjikan bagi mereka yang menekuninya.
( Pitut Saputra )